PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI
STRATEGI
PEREKAT INTEGRASI BANGSA
Oleh : Triyanto
Administrasi
dan Kebijakan Pendidikan
Program
Pascasarjana Universitas Sjakhyakirti
________________________________________
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
bukan hanya sekedar proses mewariskan norma dan budaya dari generasi ke
generasi. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk membantu
peserta didik guna mengembangkan potensi dirinya agar memiliki karakter mulia,
bertanggungjawab terhadap diri, masyarakat, negara, bangsa serta dunia.
Negara
wajib memberikan pendidikan bagi setiap warga negaranya, hal ini sesuai dengan
amanat UUD 1945 pasal 31(ayat 2) bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
Undang-undang. Sistim pendidikan (pengajaran) nasional yang dikembangkan
tentunya berdasar pada pilar kehidupan bangsa yakni Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistim
pendidikan nasional yang dikembangkan sudah seharusnya berakar dari kondisi
bangsa yang pluralis, tanggap menangkap setiap peluang serta mampu mengantisipasi
serta mampu menjawab setiap tantangan sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan
yang terjadi di era global.
Proses
pendidikan di sekolah harus mampu membentuk sikap dan perilaku demokratis dan
bertanggungjawab yang ditunjukkan melalui proses pembiasaan dan pembudayaan
hidup saling menerima terhadap adanya perbedaan-perbedaan, saling menghormati,
menjunjung hak asasi setiap individu. Bangsa Indonesia yang pluralis
membutuhkan suatu sistim pendidikan nasional yang berakar dari keragaman
budaya, etnis, golongan agama dan lain sebagainya. Wacana pendidikan dengan pendekatan
multikultaral sangat dibutuhkan agar tujuan pendidikan dalam rangka terciptanya
warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab dapat tercapai, sehingga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih terjamin di tengah-tengah
ke-Bhinnekaan bangsa Indonesia.
Proses
pendidikan atau pembelajaran pada Tingkat Satuan Pendidikan (sekolah) dan
perguruan tinggi harus diupayakan terciptanya kondisi kondusif untuk
menumbuhkembangkan sikap dan perilaku yang menunjukkan penerimaan, bagaimana
cara memahami setiap perbedaan dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada sebagai
rahmat, sehinggan perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan
narkoba, pergaulan bebas utamanya tawuran antar pelajar atau antar mahasiswa
dapat diantisipasi atau diminimalisir.
Bangsa
Indonesia yang pluralis dengan ratusan etnis, budaya, adat- istiadat dan agama yang
tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan
bahasa daerah (Koentjaraningrat dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP-UPI,2009), merupakan karunia yang harus disyukuri dan dapat diberdayakan
agar pesona keindahannya mampu menjadi modal membangun bangsa yang besar bukan
sebaliknya sebagai sumber konflik bernuansa SARA seperti “Tragedi Ambon” di
Maluku Selatan, “Sambas dan Sampit” di Kalimantan, “Tragedi Poso” di Sulawesi
dan “Tragedi Kalianda” di Lampung, yang mengusik stabilitas ketertiban dan
keamanan yang tidak mustahil jika tidak diselesaikan dengan arif dan bijak akan
mengancan stabilitas keamanan yang dapat mengarah kepada terjadinya
disintegrasi bangsa Indonesia.
Dengan memperhatikan uraian pada
bagian pendahuluan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan atau pernyataan
tantang :
1. Bagaimana pengertian dan konsep
pendidikan multikultural ?
2. Apa paradigma pendidikan multikultural
!
3. Pendekatan pendidikan multikultural !
4. Mengapa harus pendidikan berbasis
multikultural ?
5. Wacana pendidikan mulltikultural di
Indonesia !
6. Apa peran pendidikan multikultural
teerhadap integrasi bangsa !
1. Pengertian dan Konsep Pendidikan
Multikultural.
Multikultural
jika ditelaah asal-usulnya mulai dikenal sejak tahun 1960-an. Multikultural
(multibudaya) merupakan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap
etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada
hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam
mengekspresikan kebudayaannya Kymlicka (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP-UPI,2009).
Gerakan kemerdekaan
Indonesia sejak kebangkitan nasional telah menunjukkan upaya membangun bangsa
yang pluralis, hal ini nampak dari gerakan kebangkitan nasional yang diawali
dari gerakan Boedi Oetomo yang berbasis
budaya Jawa, kemudian muncul JongJava,
Jang Sumatera berbasis budaya
sumatera, Jong Silebes berbasis
budaya Sulawesi, Jong Borneo
berbasisi Kalimantan dan sebagainya. Selanjutnya dalam perjalanan sejarah kebangsaan
Indonesia yang pluralis disatukan dengan adanya Sumpah Pemuda untuk membangun
bangsa yang besar yakni Bangsa Indonesia.
Pandangan
multikultural dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, yaitu keberagaman
dalam kesatuan ternyata yang ditekankan ialah kesatuanya dan mengabaikan
keragaman budaya dan masyarakat Indonesia (HAR Tilaar,2003:166). Sebaliknya di
era reformasi yang menghembuskan angin demokrasi memberi angin segar dan
harapan untuk menghidupkan kembali wacana pendidikan multicultural. Harapan
tersebut diperkuat dengan iktikat pemerintah yang telah menetapkan dan memberlakukan kebijakan otonomi daerah yang
berdampak pada otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar
pendidikan merupakan tempat bagi perkembangan kebhinnekaan kebudayaan
Indonesia.
Pendidkan multikultural
untuk Indonesia baru dimulai. Menurut HAR. Tilaar kita belum memiliki
pengalaman, oleh sebab itu diperlukan waktu dan pesiapan yang cukup lama untuk
memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan
multikultural di Indonesia. Multikulturalisme bukan hanya merupakan suatu yang
abstrak tapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan
melalui proses pendidikan.
Pendidikan multikultural
menurut Sheeter, Grant dan Smith adalah suatu pendekatan progresif untuk
melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan
menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di
dunia pendidikan. Selanjutnya menurut Hernandes, pendidikan multikultural
diartikan sebagai progresif yang mengakui realitas sosial. Sedangkan menurut Andersen
dan Cusher, pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenal keragaman
kebudayaan.
Sehubungan dengan
pendidikan multikultural, Blum (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009),
menyatakan bahwa :
multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas
budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya
etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang
lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan
tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat
mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Menurut penulis, dalam
pendidikan multikultural terkait masalah-masalah keadilan sosial, kesetaraan,
demokrasi dan hak asasi manusia, karenanya pendidikan multikultural sangat
berkaitan dengan masalah-masalah politik, sosial, moral, budaya, pendidikan,
agama. Para pakar pendidikan (HAR.Tilaar,2003:168), mengidentifikasi
tingkat-tingkat konsep dalam pendidikan multikultural terdiri dari :
1) Masalah
kebudayaan. Dalam hal
ini terkait dengan masalah-masalah mengenai identifikasi budaya suatu kelompok
masyarakat atau etnis. Apakah kelompok-kelompok masyarakat mempunyai kedudukan
dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di dalam
masyarakat,
2)
Kebiasaan-kebiasaan, tradisi,
pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat,
3)
Kegiatan atau kemajuan tertentu dari
kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat
pada kelompok tersebut.
Menurut
Prof. Bennet (dalam HAR.Tilaar,2003:170) konsep dasar pendidikan multikultural
terdiri dari nilai-nilai inti (core
values) pendidikan multikultural dan tujuan pendidikan multikultural.
Menurutnya ada empat nilai inti dalam pendidikan multikultural, yaitu a)
apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralism budaya dalam masyarakat; b)
pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; c) pengembangan
tanggungjawab masyarakat dunia; d) pengembangan tanggungjawan manusia terhadap
planet bumi. Adapun tujuan pendidikan
multikultural dikembangn dari nilai-nilai inti pendidikan multikultural yang
terdiri dari enam tujuan, yaitu a) mengembangkan
perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok
maasyarakat, b) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat, c)
memperkuat kompetensi interkutural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat,
d) membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice), e)
mengembangkan kesadaran atas kepemilikian planet bumi, f) mengembangkan
keterampilanaksi sosial (social action).
Dalam pendidikan
multikultural, perbedaan dan penghargaan terhadap kultur yang berbeda hendaknya
disikapi sebagai rahmat (kekayaan) sebagai bumbu-bumbu kehidupan yang mampu menjadi
perekat kokohnya kehidupan berbangsa dan bernegara bukan disikapi sebaliknya
yakni dicurigai sebagai sesuatu yang dapat memicu dan mengancam yang berakibat
terjadinya disintegrasi bangsa.
2. Paradigma Pendidikan Multikultural.
Menurut Dr.
Faiz Khan (dalam M. Amir Aziz,2008:190) suatu paradigma adalah apa yang anda
pikirkan sebelum anda memikirkan. Paradigma pendidikan Indonesia adalah
membangun manusia Indonesia yang seutuhnya selaku subyek yang mampu
mengaktualisasi potensi diri dan dimensi kemanusiaan secara utuh dan optimal
yang meliputi 1) keteguhan iman dan
taqwa, 2) penguasaan iptek, 3) ekspresi estetis, 4) keluhuran budi pekerti, 5)
wawasan kebangsaan (Dodi Nandika,2007:13).
Paradigma
pendidikan ini menurut Dodi Nandika, menempatkan peserta didik sebagai subyek
pendidikan serta mengarah kepada pendidikan yang memanusiakan manusia secara
holistik, yang mencakup aspek keimanan, ilmu pengaetahuan dan teknologi,
estetika, etika serta kepribadian.
Sehubungan
dengan pandangan perlunya paradigma baru dalam pendidikan di Indonesia, HAR.
Tilaar (dalam Sam M Chan,2008;114) mengemukanan pendapatnya, yaitu terdapat
tujuh paradigma pendidikan di Indonesia, yaitu Pertama, pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia
baru yang demokratis. Kedua, untuk
mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Ketiga, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang
dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu
mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Kelima, di dalam menghadapi kehidupan
global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengarahkan
kemampuan berkompetensi di dalam rangka kerjasama. Keenam, pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju
pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan
kebinekaan masyarakat. Ketujuh, pendidikan
harus mampu meng-Indonesia-kan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan
Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia.
Untuk
mewujudkan ketujuh paradigma pendidikan sebagaimana diuraikan sebelumnya,
diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip
yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan di era global,
yaitu partisipasi aktif warga masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan,
demokratisasi proses pendidikan, tersedianya sumber daya pendidik dan tenaga
kependidikan yang professional serta tersedianya sumber dana yang memadai.
Paradigma
pendidikan ini mengedepankan pembentukan karakter serta wawasan kebangsaan yang
pluralis yang sangat penting dalam melihara persatuan dan kesatuan bangsa di
era global ini.
Pada masa
lampau multikultural dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna, bahkan John
Dewey menganggap bahwa multikultural
hanya menciptakan pemisah yang kuat antar kelompok dalam masyarakat, karena itu
apa yang seharusnya terjadi asimilasi. (westbrook, Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan FIP-UPI,2009).
Kondisi
multikultural seringkali dianggap sebagai ancaman bagi kebutuhan bangsa dan
negara. munculnya fragmentasi dan diferensiasi yang tidak terelakkan akan dapat
dikhawatirkan akan menjadi pnyebab lemahnya integrasi bangsa Indonesia. Ketika
budaya dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan murni akan muncul
pluralisme yang yang rapuh bahkan mengarah pada terpisah antara budaya satu
dengan budaya lainnya walaupun dalam wadah satu negara. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika hendaknya dipahami bahwa meskipun berbeda-beda (plural) ragam
budaya, etnik, agama, adat-istiadat, bahasa dan sebagainya hendaknya tetap
disikapi dengan saling menerima perbedaan, memahami, menghormati sehingga
memunculkan sikap dan perilaku moral yang simpatik, melihat setiap perbedaan
sebagai rahmat. Dengan demikian pendidikan multikultural diharapkan menjadi
alternatif solusi bagi pencegahan dan atau solusi terhadap pemecahan permasalah
konflik sosial yang terjadi akibat degradasi moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Multikultural sudah
semestinya disikapi secara positif yakni sebagai rahmat yang perlu di syukuri
dan dilestarikan, bukan disikapi secara negatif yang mengancam stabilitas
berbagai segi kehidupan apalagi dicurigai sebagai ancaman terhadap integritas
bangsa. Pemikiran tersebut tidak akan berarti manakala tidak ada upaya
pembudayaan paradigma tentang multikultural. Perubahan tampaknya dimulai dari
sekolah (Pradipto,2005 dalam Rosita:52). Satuan pendidikan (sekolah) dan
Perguruan Tinggi memilki peran yang sangat strategis dalam proses pendidikan
multikultural. Multikultural dalam pendidikan ada karena pendidikan tidak lepas
dari konteks masyarakat. Pendidikan yang mengedepankan keberagaman menjadi inti
dari pendidikan multikultural, yakni pendidikan yang menekankan pada penanaman
moral.
Elemen
pendidikan multikultural mencakup tiga sub-nilai 1)menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai
warisan budaya seseorang, 2) menghormati dan berkeinginan untuk memehami serta
belajar tentang etnik kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya, dan 3)menilai
dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri, Blum (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009).
Selanjutnya paradigma
pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan
bagi seluruh warga masyarakat, yang bukan hanya sekedar perubahan kurikulum
atau perubahan metode pengajaran, pendidikan multikultural mentransformasi
kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus
menuju dan bahwa pengalaman menunjukkan bahwa upaya mempersempit kesenjangan
pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar
(Zamroni,2011).
3. Pendekatan Pendidikan Multikultural.
Kebijakan pendidikan nasional berbasis
multikultural bagi bangsa Indonesia yang pluralis sudah dirasakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pendidikan multikultural
sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, akan melahirkan kemampuan
untuk memahami perbedaan budaya orang lain serta menghargai setiap perbedaan
budaya serta memiliki sikap dan perilaku positif bahwa perbedaan budaya sebagai
suatu kekayaan yang harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan, bukan disikapi
secara negatif sebagai ancaman terhadap kesinambungan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam masyarakat yang
plural, pendidikan multikultural menjadi semakin penting. Satu dari empat orang
Amerika Serikat saat ini menggambarkan dirinya sebagai seorang Hispanik atau
bukan kulit putih, Pada tahun 2000, gambaran ini akan berubah menjadi satu dari
tiga orang Amerika Serikat (Lickona,2012;168). Pengembangan apresiasi positif
terhadap perbedaan kultural terasa semakin mendesak jika dilihat dari sudut
pandang meningkatnya fanatisme golongan dan tindak kekerasan yang bernuansa
SARA yang terjadi pada akhir-akhir di negeri ini.
Berikut ini disajikan sebuah
gambaran, bagaimana Suster Paul Barno yang mengajar di kelas 4 di suatu Sekolah
Paroki di bagian utara negara bagian New York yang memiliki seorang murid
bernama Eddie keturunan bangsa Meksiko yang tidak diterima dengan baik oleh
murid-murid yang lain. Pada musim gugur semua kelas diajak untuk berkontribusi
dalam proyek multikultur sekolah yang bertema “ Festival Berbagai Negeri “,
sang guru memilih tema Meksiko. Sang guru menjelaskan agar Eddie mau
berpartisipasi aktif, sang guru menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Eddie menjadi bagian dari beberapa kelompok kecil yang mengerjakan peta, bagan
dan barang yang akan dipamerkan seperti orang-orang, tempat-tempat, dan
barang-barang yang ada di Meksiko, dengan adanya dorongan Eddie berhasil
mengarahkan seluruh temannya di kelas mengenai kehidupan di Meksiko, interaksi
edukasi antar murid berkembang dengan baik.
Pada
hari diadakannya proyek banyak orangtua yang ikut hadir dalam diskusi apa yang
kami pelajari, berdansa, makan tacos, dan memecahkan piƱata. keluarga Eddie datang
dengan membawa batu permata dan perak dari Meksiko, dan Eddie datang dengan
mengenakan kostum tereodor (baju kebangsaan Meksiko) yang dijahit oleh ibunya
sendiri (Lickona,2012:269).
Proses pembelajaran
pendidikan multikultural diatas menggambarkan bahwa Suster Paul Barno
menggunakan pendekatan integratif dalam proses pembelajarannya. Sekolah Parogi
di New York tersebut tidak menggunakan pendekatan monolitik atau mengajarkan
pendidikan multikultural melalui mata pelajaran khusus yang bernama mata
pelajaran pendidikan multikultural atau mata pelajaran sejenisnya, namun
diintegrasikan dalam mata pelajaran yang diampu oleh Suster Paul Barno
tersebut.
Penulis
berpendapat bahwa pendidikan multikultural di Indonesia dapat dikemas dalam
suatu bentuk acara pentas seni dalam rangka memperingati hari-hari besar
nasional, acara ulang tahun sekolah, penerimaan dan acara pelepasan peserta
didik pada awal atau akhir tahun pelajaran, dimanan setiap peserta didik tampil
dengan latar belakang “budaya asli” (busana) masing-masing peserta didik.
Selanjutnya proses pembelajaran pendidikan multikultural tidak disajikan
melalui mata pelajaran pendidikan multikultural (monolitik), tetapi disajikan
secara integrative dengan mata pelajaran yang telah ada. Hal ini sesuai dengan
pendapat bahwa Pendidikan multikultural sebaiknya tidak diberikan dalam satu
mata pelajaran yang terpisah tetapi terintegrasi di dalam mata pelajaran-mata
pelajaran yang relevan HAR.Tilaar (2003:181).
Selanjutnya pendekatan pendidikan formal yang berbasis multikultural
menurut penulis dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
top-down dan pendekatan bottom-up. Pertama,
pendekatan top-down dilakukan melalui mekanisme penetapan kebijakan pemerintah
pusat tentang pendidikan multikultural, sedangkan Satuan Tingkat Pendidikan /
Sekolah merupakan implementator kebijakan pendidikan multikultural. Kedua,
dengan pendekatan bottom-up, yaitu dengan cara menemukenali praktik pendidikan
multikultural di level satuan pendidikan atau proses habituasi (pembiasaan)
seperti praktik penggunaan bahasa daerah, busana khas daerah.
4. Pendidikan Berbasis Multikultural.
Wacana mengenai kebudayaan merupakan
bidang yang berkaitan dengan tiga masalah besar, yaitu identitas, kekuasaa, dan
kebudayaan dalam arti luas (HAR Tilaar,2003:162). Diberbagai negara yang plural
seperti Amerika Serikat, Singapura dan Indonesia masalah multikultural
merupakan kenyataan sosial yang harus dihadapi.
Persoalannya
adalah bagaimana negara yang multikultural tersebut mendesain sistim
pendidikannya. menurut John Dewey menyatakan bahwa masalah keanekaragaman di
dalam masyarakat demokrasi sebagai salah
satu masalah pokok pendidikan, ia menunjukkan betapa cita-cita demokrasi hanya
dapat hidup dan berkembanmg melalui proses pendidikan. Pendidikan multikultural
dewasa ini merupakan topik diskusi,
seminar maupun praktik pendidikan pada beberapa negara maju dengan dengan
mengambil tema utama pentingnya kebudayaan dalam praktik pendidikan untuk
membangun suatu masyarakat yang demokratis.
Apabila
multikultural merupakan wacana dalam bidang kebudayaan dalam arti yang luas
seperti pengembangan identitas suatu kelompok masyarakat diperlukan rasa
identitas dari kelompok bangsa. Selanjutnya negara hanya akan mampu bertahan
manakala memiliki kekuasaan, kekuasaan untuk menjamin kelangsungan hidup dan
berkembang di dalam suatu kelompok masyarakat serta mengikat masyarakat itu
dalam satu kesatuan kehidupan. Menurut HAR.TilaarPendidikan tidak lepas dari
kebudayaan yang disebut dengan studi kultural mengenai pendidikan, yang melihat
proses pendidikan tidak terlepas dari proses pembudayaan. Pendidikan tidak bisa
lepas dari keseluruhan dinamika buaya suatu masyarakat. Pendidikan
multikultural tidak hanya terbatas pada pendidikan di jenjang pendidikan formal
di tingkat sekolah dan perguruan tinggi, namun diadakan melalui lintas batas
yang melangkahi batas-batas pemisah yang tradisional dari disiplin-disiplin
dunia akademis yang kaku.
Salah
satu tujuan pendidikan nasional adalah membentuk warga negara yang demokratis,
olah karenanya pendidikan multikultural menempati tempat yang sangat sentral
dalam pembinaan generasi dan masyarakat Indonesia yang demokratis, yakni tumbuh
kembangnya sikap dan perilaku saling menerima perbedaan, menghargai setiap
perbedaan latar belakang etnis, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya.
5. Wacana Pendidikan Multikultural di
Indonesia.
Sebagaimana yang telah diuraikan
pada bagian sebelumnya bahwa kebijakan pendidikan berbasis multikultural bagi
bangsa Indonesia yang pluralis merupakan suatu keniscayaan. Fakta pluralitas
etnik, bahasa, golongan agama,
adat-istiadat atau budaya merupakan akibat logis dari arus gelombang mobilitas dan
globalisasi yang terjadi di dunia.
Pendidikan
multikultural di era otonami daerah dewasa ini sangat dimungkinkan untuk tumbuh
dan berkembang. Sebab dalam multikultural menuntut perkembangan budaya lokal
secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan
masing-masing budaya. Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan otonomi daerah
yang memiliki kewenangan lebih luas untuk melestarikan, menggali serta
mengembangkan budaya yang bernilai kearifan lokal. Semua elemen tersebut dapat
diapresiasi dengan pendekatan atas-bawah (top-down) yang bersifat sentralistik,
namun akan lebih tepat jika dilakukan dengan pendekatan dari bawah (botton-up)
yang bersifat desentralistik.
Dengan
berlakunya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang
cukup untuk mengelola potensi daerahnya dengan tujuan dapat meningkatkan pelayanan
dan peningkatan kualitas kesejahteraan bagi warga masyarakat. Melalui pengembangan potensi daerah yang
desentralistik tersebut diharapkan pemikiran pluralistik etnik, budaya, agama,
seni, bahasa dapat menghadirkan respon kreatif yang signifikan dengan tuntutan
transformasi masyarakat yang terjadi Asy’ari
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009:47).
6. Peran Pendidikan Multikultural
terhadap Integrasi Bangsa
Fenomena seperti tawuran antar
pelajar, tindakan penyalahgunaan narkoba, perilaku sek bebas dikalangan
pelajar, konflik sosial secara horizontal sebagaimana yang telah disampaikan di awal tulisan yang terjadi akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa krisis moral ini belum dapat diselesaikan secara baik.
Konflik-konflik yang terjadi selama ini bisa jadi merupakan potret “kegagalan” dunia
pendidikan dalam membentuk pribadi-pribadi yang bermoral, karena pendidikan
yang berlangsung lebih mengedepankan aspek olah pikir daripada olah hati dan
olah rasa.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Adam, menunjukkan bahwa secara moral
pendidkan turut bertanggungjawab atas terjadinya konflik sosial yang terjadi.
Selanjutnya Adam (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009:61) menjelaskan
bahwa :
Di
berbagai daerah untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, terdapat
gelombang pengungsi yang bukan akibat bencana alam. Di Pontianak dan sekitarnya
terdapat ribuan keluarga Madura yang tinggal di “kamp-kamp pengunggsian” tanpa
kejelasan dan nasib dan masa depannya. Di NTT menjadi tempat penampungan lebih
dari seratus ribu warga eks Timor Timur…Di Medan terdapat ribuan pengunggsi
Aceh. menurut sebuah catatan, kini telah terdapat lebih dari sejuta pengunggsi
di seluruh Indonesia. Mereka adalah warga negara yang terlempar dari rumahnya
akibat “perang saudara” dan menjadi suatu komunitas orang asing di negeri
sendir … belum lagi kasus-kasus Aceh, Poso, Irian Jaya, dan Ambon.
Adanya keterasingan sosial akibat
berbagai kerusuhan dan kekerasan yang terjadi dapat diindikasikan bahwa adanya rasa
aman, saling toleransi serta kebanggaan sebagai bangsa semakin menipis. Jiwa nasionalisme
dan semangat integrasi bangsa yang telah kita capai kini layak dipertanyakan
kembali dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya.
Perlu
diperhatikan hasil penelitian tentang peranan pendidikan multikultural terhadap
integrasi bangsa yang dilakukan oleh Education
Resourses Information Center (ERIC), menunjukkan bahwa pendidikan
multikultural berperan dalam 1) mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras
atau harmonis, 2) mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai, 3) menghargai
perbedaan-perbedaan, 4) memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, 5)
menghargai keanekaragaman dan menumbuhkan demokrasi.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dengan pendekatan pembelajaran
berbasis multikultural dapat mencegah prasangka-prasangka dan konflik antar
kelompok, karena dalam pembelajaran multikultural peserta didik akan belajar bagaimana memahami
perbedaan dan cara menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap
keunggulan dan kelemahannya, yang pada akhirnya peserta didik akan menerimanya
bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna maupun sama sekali tidak
memiliki kebaikan atau manfaatnya. Bahkan menurut Malinovski dalam Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009, menyatakan bahwa segala aktifitas kebudayaan itu
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia.
Kesimpulan.
Pendidikan
merupakan serangkaian proses untuk memanusiakan manusia, manusia yang menyadari
hak-hak dan kewajiban sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk
sosial. Bangsa Indonesia yang plural merupakan karunia yang harus disyukuri
bukan hanya kekayaan namun menjadi modal perekat demi keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pendidikan multikultural di tengah masyarakat yang plural
sangat dibutuhkan, karena bukan hanya berperan untuk menghargai perbedaan
budaya lain, mengurangi prasangka dan konflik antar kelompok, namun juga pendidikan
multikultural memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga integritas
bangsa.
Pemerintah berwenang
dan sangat berkepentingan dalam menetapkan kebijakan sistim pendidikan nasional
berbasis multikultural, bukan karena hanya untuk menjaga agar tetap utuhnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, namun juga dalam rangka menjamin kelangsungan
kehidupan warga negaranya yang hidup dengan damai, sejahtera dan penuh keadilan.
Aziz, Amir.2008.The Power of Al-Fatihah. Do’a
Qolilah.Ciganjur.
Chaniago, M Sam.2008.Kebijakan Pendidikan Era Otanomi Daerah.Rajawali
Press. Jakarta.
Endang SK.
2006. Pendidikan multikultural sebagai
alternatif penanaman nilai moral dalam keberagaman.Paradigma.02 tahun I-55.
Lickona,
Thomas.2012.Educating for Character-Mendidik
Untuk Membentuk Karakter.Bumi
Aksara. Jakarta.
Tilaar,HAR.2003.Keluasan dalam pendidikan-Suatu tinjauan dan
perspektif studi kultural.Indonesastra.Magelang.