Rabu, 20 Maret 2013

Pramuka



 


PERMAINAN Dalam pramuka





Permainan

   Permaninan dalam kegiatan kepramukaan mempunyai fungsi sebagai alat pendidikan sekaligus kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan permainan bersifat umum artinya dapat dilaksanakan pada berbagai kegiatan. Permainan ini dapat dilaksanakan di rumah, sekolah dalam berbagai acara seperti acara latihan pramuka.
1).  Sepasang demi sepasang.
             Alat :
o  beberapa kartu yang telah bertuliskan nama-nama hewan masing-masing  sepasang.
o  terpal atau tali untuk areal berkumpul.
             Cara bermain :
o  tiap peserta diberi satu kartu bernama hewan.
o  setiap peserta merahasiakan nama hewan yang tertulis pada kartunya.
o  Pembina menyerukan kata mulai, setiap peserta yang memiliki kartu nama hewan memerankan mimik, suara dan berjalan berpasangan menuju tempat yang telah disediakan.
2).  Siapa lebih cepat.
Alat :
o  bendera semaphore.
            Cara bermain :
o  peserta membentuk sebuah barisan setengah lingkaran.
o  pembina (pemburu pertama) berdiri menghadap barisan setenagn lingkaran.
o  kesepakatan bahwa huruf atau inisial nama diambil dari nama panggilan sehari hari.
o  pemburu menyampaikan isyarat (dengan semaphore).
o  peserta yang namamya disampaikan oleh pemburu pindah tempat atau keluar melalui belakang barisan.
o  pada saat bersamaan pemburu mencari tempat yang kosong untuk menjadi anggota barisan setengah lingkaran.
o  peserta yang tidak mendapat tempat pada barisan menggantikan posisi sebagai pemburu.
o  dan seterusnya.  
3).  Polo ala pramuka
  Alat :
o  bola dan tali tiap regu
o  lintasan tiap regu.
             Cara bermain :
o  formasi estafe peserta pertama menggiring bola dengan seutas tali melewati garis.
o  setelah melewati batas/garis peserta kedua menggantikan menggiring bola dan seterusnya.
o  regu yang lebih cepat mencapai finis dinyatakan sebagai regu pemenang.
4).  Hoki ala pramuka
             Alat/sarana :
o  beberapa tiang untuk lintasan slalom.
o  papan penembak dan gawang.
o  stik / pemukul dan bola tenis.
o  areal/lapangan.
             Cara bermain :
o  tentukan lintasan slalom, tempat/areal menembak dan gawang.
o  peserta menggiring bola dengan stik melewati lintasan slalom.
o  setelah peserta sampai di tempat/areal menembak, peserta menembakkan bola ke gawang.
o  peserta selanjutnya melakukan hal yang sama.
o  pemenang adalah regu yang lebih banyak memasukkan bola ke gawang dalam waktu yang telah ditentukan.
5).  Kim rasa
             Alat :
o  buah aneka jus dengan satu warna.
             Cara bermain :
o  setiap peserta di beri sedikit minuman aneka jus
o  setelah semua peserta di beri sedikit minuman aneka jus, peserta diminta untuk menyebutkan nama jus yang dicicipinya sesuai dengan urutan penyajian.
o  peserta dinyatakan sebagai pemenang apabila peserta dapat dengan tepat menyebutkan secara urut nama minuman jus yang telah disajikan.
6).  Kim raba.
             Alat :
o  sejumlah kantung platsik belanja tidak tembus pandang.
o  sejumlah benda yang bisa diraba.
o  kotak kecil tempat benda.
             Cara bermain :
o  setiap benda dimasukkan ke dalam kotak (ditempel dengan selotip)
o  semua benda dimasukkan ke dalam kantong plastic besar.
o  peserta diminta meraba dan menebak benda apa gerangan yang ada di dalam kantong secara bergantian.
o  peserta/regu dinyatakan sebagai pemenang apabila peserta dapat dengan tepat menyebutkan benda yang terdapat dalam kantong dengan jumlah terbanya.
7).  Berapa rupiah
             Alat :
o  sejumlah kantong plastik.
o  sejumlah uang logam dengan nilai nominal beragam dan masing-masing kantong memiliki jumlah uang yang sama.
             Cara bermain :
o  setiap regu dalam formasi estafe dengan nomor urut masing-masing.
o  pembina memanggil nomor peserta dan menyebut nilai nominal tertentu.
o  peserta yang dipanggil menuju kantong untuk mengambil mata uang logam sesuai yang diminta pembina.
o  peserta menyerahkan uang yang telah diambil kepada pembina.
o  peserta/regu pemenang ditentukan dari besarnya jumlah uang yang berhasil dikumpulkannya.
8).  Lomba vokal.
             Alat :
o  selembar kertas bertuliskan bait/kalimat pertama sebuah lagu (terkenal).
o  tulisan kata demi kata dari bait/kalimat pertama sebuah lagu tersebut pada lembaran kertas.
             Cara bermain :
o  letakkan selembar kertas yang bertuliskan bait/kalimat pertama sebuah lagu beberapa meter dari setiap regu.
o  setiap regu membentuk formasi barisan estafet.
o  pada saat pembina memberi aba-aba mulai peserta mengambil potongan-potongan kertas satu demi satu yang telah di sediakan pada tempat yang berlawanan dari letak kertas yang bertuliskan bait/kalimat pertama sebuah lagu.
o  beregu menyusun potongan-potongan kata yang telah terkumpul  menjadi sebuah kalimat.
o  regu menyanyikan lagu bersama-sama

9).  Mengambil tali di celana/rok.
             Alat/sarana :
o  sejumlah tali tali (sesuai dengan jumlah pemain).
o  areal permainan
             Cara bermain :
o  setiap peserta dibagikan seutas tali dengan ukuran panjang yang sama.
o  setiap peserta memenyelipkan seutas tali tersebut di bagian belakang celana/roknya.
o  posisi para peserta di atur menyebar sedemikian rupa.
o  pada saat pembina memberi aba-aba mulai setiap peserta berusaha mengambil tali peserta lain sambil tetap menjaga tali pada celana/roknya masing-masing agar tetap tidak diambil oleh peserta lain.
o  pemenang ditentukan dari peserta/regu yang berhasil mengambil tali peserta lain.
10). Bergerak bersama dalam satu lingkaran tali.
             Alat/sarana :
o  sejumlah tali.
o  sejumlah benda yang bisa diambil.
o  areal/lapangan.

             Cara bermain :
o  setiap kelompok membentuk lingkaran sebesar tali yang telah disiapkan dengan posisi menghadap keluar.
o  sambil menjaga bentuk lingkaran secara perlahan kelompok bergerak menuju benda yang telah ditempat di suatu titik.
o  pemenang ditentukan dari regu yang terlebih dahulu mengambil benda pada titik yang telah ditentukan.





Badel Powell berkata:

“Tujuan akhir membina Pramuka adalah mempersiapkan manusia mantap untuk Tanah Air tercinta, manusia yang kuat mental, fisik dan jiwanya, manusia yang dapat dipercaya, manusia yang mampu menghadapi tugas berat dan kesukaran, manusia yang teguh dan tidak tergoyah oleh berbagai ungkapan massa, manusia yang mampu memberi banyak pengorbanan demi kejayaan bangsa, memiliki patriotisme tidak sempit, tetapi dengan pandangan luas mampu melihat dengan simpatik cita-cita mulia para patriot negara lain ”
 
















Senin, 18 Maret 2013

Pendidikan


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI STRATEGI
PEREKAT INTEGRASI BANGSA

Oleh : Triyanto
Administrasi dan Kebijakan Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas Sjakhyakirti
________________________________________



A. PENDAHULUAN
Pendidikan bukan hanya sekedar proses mewariskan norma dan budaya dari generasi ke generasi. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk membantu peserta didik guna mengembangkan potensi dirinya agar memiliki karakter mulia, bertanggungjawab terhadap diri, masyarakat, negara, bangsa serta dunia.
Negara wajib memberikan pendidikan bagi setiap warga negaranya, hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31(ayat 2) bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang. Sistim pendidikan (pengajaran) nasional yang dikembangkan tentunya berdasar pada pilar kehidupan bangsa yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistim pendidikan nasional yang dikembangkan sudah seharusnya berakar dari kondisi bangsa yang pluralis, tanggap menangkap setiap peluang serta mampu mengantisipasi serta mampu menjawab setiap tantangan sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang terjadi di era global.  
Proses pendidikan di sekolah harus mampu membentuk sikap dan perilaku demokratis dan bertanggungjawab yang ditunjukkan melalui proses pembiasaan dan pembudayaan hidup saling menerima terhadap adanya perbedaan-perbedaan, saling menghormati, menjunjung hak asasi setiap individu. Bangsa Indonesia yang pluralis membutuhkan suatu sistim pendidikan nasional yang berakar dari keragaman budaya, etnis, golongan agama dan lain sebagainya. Wacana pendidikan dengan pendekatan multikultaral sangat dibutuhkan agar tujuan pendidikan dalam rangka terciptanya warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab dapat tercapai, sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih terjamin di tengah-tengah ke-Bhinnekaan bangsa Indonesia.  
Proses pendidikan atau pembelajaran pada Tingkat Satuan Pendidikan (sekolah) dan perguruan tinggi harus diupayakan terciptanya kondisi kondusif untuk menumbuhkembangkan sikap dan perilaku yang menunjukkan penerimaan, bagaimana cara memahami setiap perbedaan dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada sebagai rahmat, sehinggan perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas utamanya tawuran antar pelajar atau antar mahasiswa dapat diantisipasi atau diminimalisir.
Bangsa Indonesia yang pluralis dengan ratusan etnis, budaya, adat- istiadat dan agama yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009), merupakan karunia yang harus disyukuri dan dapat diberdayakan agar pesona keindahannya mampu menjadi modal membangun bangsa yang besar bukan sebaliknya sebagai sumber konflik bernuansa SARA seperti “Tragedi Ambon” di Maluku Selatan, “Sambas dan Sampit” di Kalimantan, “Tragedi Poso” di Sulawesi dan “Tragedi Kalianda” di Lampung, yang mengusik stabilitas ketertiban dan keamanan yang tidak mustahil jika tidak diselesaikan dengan arif dan bijak akan mengancan stabilitas keamanan yang dapat mengarah kepada terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia. 

B. RUMUSAN MASALAH     
            Dengan memperhatikan uraian pada bagian pendahuluan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan atau pernyataan tantang :
1.     Bagaimana pengertian dan konsep pendidikan multikultural ?
2.     Apa paradigma pendidikan multikultural !
3.     Pendekatan pendidikan multikultural !
4.     Mengapa harus pendidikan berbasis multikultural ?
5.     Wacana pendidikan mulltikultural di Indonesia !
6.     Apa peran pendidikan multikultural teerhadap integrasi bangsa !

C. PEMBAHASAN     
1.  Pengertian dan Konsep Pendidikan Multikultural.
Multikultural jika ditelaah asal-usulnya mulai dikenal sejak tahun 1960-an. Multikultural (multibudaya) merupakan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya Kymlicka (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009).
                        Gerakan kemerdekaan Indonesia sejak kebangkitan nasional telah menunjukkan upaya membangun bangsa yang pluralis, hal ini nampak dari gerakan kebangkitan nasional yang diawali dari gerakan Boedi Oetomo yang berbasis budaya Jawa, kemudian muncul JongJava, Jang Sumatera berbasis budaya sumatera, Jong Silebes berbasis budaya Sulawesi, Jong Borneo berbasisi Kalimantan dan sebagainya. Selanjutnya dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia yang pluralis disatukan dengan adanya Sumpah Pemuda untuk membangun bangsa yang besar yakni Bangsa Indonesia.
                        Pandangan multikultural dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, yaitu keberagaman dalam kesatuan ternyata yang ditekankan ialah kesatuanya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia (HAR Tilaar,2003:166). Sebaliknya di era reformasi yang menghembuskan angin demokrasi memberi angin segar dan harapan untuk menghidupkan kembali wacana pendidikan multicultural. Harapan tersebut diperkuat dengan iktikat pemerintah yang telah menetapkan dan  memberlakukan kebijakan otonomi daerah yang berdampak pada otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan merupakan tempat bagi perkembangan kebhinnekaan kebudayaan Indonesia.    
                        Pendidkan multikultural untuk Indonesia baru dimulai. Menurut HAR. Tilaar kita belum memiliki pengalaman, oleh sebab itu diperlukan waktu dan pesiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Multikulturalisme bukan hanya merupakan suatu yang abstrak tapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan.
                        Pendidikan multikultural menurut Sheeter, Grant dan Smith adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan. Selanjutnya menurut Hernandes, pendidikan multikultural diartikan sebagai progresif yang mengakui realitas sosial. Sedangkan menurut Andersen dan Cusher, pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenal keragaman kebudayaan. 
                        Sehubungan dengan pendidikan multikultural, Blum (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009), menyatakan bahwa :
                        multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

                        Menurut penulis, dalam pendidikan multikultural terkait masalah-masalah keadilan sosial, kesetaraan, demokrasi dan hak asasi manusia, karenanya pendidikan multikultural sangat berkaitan dengan masalah-masalah politik, sosial, moral, budaya, pendidikan, agama. Para pakar pendidikan (HAR.Tilaar,2003:168), mengidentifikasi tingkat-tingkat konsep dalam pendidikan multikultural terdiri dari :
1)     Masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait dengan masalah-masalah mengenai identifikasi budaya suatu kelompok masyarakat atau etnis. Apakah kelompok-kelompok masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di dalam masyarakat,
2)     Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat,
3)     Kegiatan atau kemajuan tertentu dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
                   Menurut Prof. Bennet (dalam HAR.Tilaar,2003:170) konsep dasar pendidikan multikultural terdiri dari nilai-nilai inti (core values) pendidikan multikultural dan tujuan pendidikan multikultural. Menurutnya ada empat nilai inti dalam pendidikan multikultural, yaitu a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralism budaya dalam masyarakat; b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; d) pengembangan tanggungjawan manusia terhadap planet bumi.  Adapun tujuan pendidikan multikultural dikembangn dari nilai-nilai inti pendidikan multikultural yang terdiri dari enam tujuan, yaitu                        a) mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok maasyarakat, b) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat, c) memperkuat kompetensi interkutural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat, d) membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice), e) mengembangkan kesadaran atas kepemilikian planet bumi, f) mengembangkan keterampilanaksi sosial (social action).
                        Dalam pendidikan multikultural, perbedaan dan penghargaan terhadap kultur yang berbeda hendaknya disikapi sebagai rahmat (kekayaan) sebagai bumbu-bumbu kehidupan yang mampu menjadi perekat kokohnya kehidupan berbangsa dan bernegara bukan disikapi sebaliknya yakni dicurigai sebagai sesuatu yang dapat memicu dan mengancam yang berakibat terjadinya disintegrasi bangsa.  
2. Paradigma Pendidikan Multikultural.
Menurut Dr. Faiz Khan (dalam M. Amir Aziz,2008:190) suatu paradigma adalah apa yang anda pikirkan sebelum anda memikirkan. Paradigma pendidikan Indonesia adalah membangun manusia Indonesia yang seutuhnya selaku subyek yang mampu mengaktualisasi potensi diri dan dimensi kemanusiaan secara utuh dan optimal yang meliputi 1) keteguhan iman dan taqwa, 2) penguasaan iptek, 3) ekspresi estetis, 4) keluhuran budi pekerti, 5) wawasan kebangsaan (Dodi Nandika,2007:13).
Paradigma pendidikan ini menurut Dodi Nandika, menempatkan peserta didik sebagai subyek pendidikan serta mengarah kepada pendidikan yang memanusiakan manusia secara holistik, yang mencakup aspek keimanan, ilmu pengaetahuan dan teknologi, estetika, etika serta kepribadian.
Sehubungan dengan pandangan perlunya paradigma baru dalam pendidikan di Indonesia, HAR. Tilaar (dalam Sam M Chan,2008;114) mengemukanan pendapatnya, yaitu terdapat tujuh paradigma pendidikan di Indonesia, yaitu Pertama, pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis. Kedua, untuk mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Ketiga, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Kelima, di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetensi di dalam rangka kerjasama. Keenam, pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebinekaan masyarakat. Ketujuh, pendidikan harus mampu meng-Indonesia-kan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia.
Untuk mewujudkan ketujuh paradigma pendidikan sebagaimana diuraikan sebelumnya, diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan di era global, yaitu partisipasi aktif warga masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan, demokratisasi proses pendidikan, tersedianya sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan yang professional serta tersedianya sumber dana yang memadai. 
Paradigma pendidikan ini mengedepankan pembentukan karakter serta wawasan kebangsaan yang pluralis yang sangat penting dalam melihara persatuan dan kesatuan bangsa di era global ini.
Pada masa lampau multikultural dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna, bahkan John Dewey  menganggap bahwa multikultural hanya menciptakan pemisah yang kuat antar kelompok dalam masyarakat, karena itu apa yang seharusnya terjadi asimilasi. (westbrook, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009).
Kondisi multikultural seringkali dianggap sebagai ancaman bagi kebutuhan bangsa dan negara. munculnya fragmentasi dan diferensiasi yang tidak terelakkan akan dapat dikhawatirkan akan menjadi pnyebab lemahnya integrasi bangsa Indonesia. Ketika budaya dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan murni akan muncul pluralisme yang yang rapuh bahkan mengarah pada terpisah antara budaya satu dengan budaya lainnya walaupun dalam wadah satu negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hendaknya dipahami bahwa meskipun berbeda-beda (plural) ragam budaya, etnik, agama, adat-istiadat, bahasa dan sebagainya hendaknya tetap disikapi dengan saling menerima perbedaan, memahami, menghormati sehingga memunculkan sikap dan perilaku moral yang simpatik, melihat setiap perbedaan sebagai rahmat. Dengan demikian pendidikan multikultural diharapkan menjadi alternatif solusi bagi pencegahan dan atau solusi terhadap pemecahan permasalah konflik sosial yang terjadi akibat degradasi moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
Multikultural sudah semestinya disikapi secara positif yakni sebagai rahmat yang perlu di syukuri dan dilestarikan, bukan disikapi secara negatif yang mengancam stabilitas berbagai segi kehidupan apalagi dicurigai sebagai ancaman terhadap integritas bangsa. Pemikiran tersebut tidak akan berarti manakala tidak ada upaya pembudayaan paradigma tentang multikultural. Perubahan tampaknya dimulai dari sekolah (Pradipto,2005 dalam Rosita:52). Satuan pendidikan (sekolah) dan Perguruan Tinggi memilki peran yang sangat strategis dalam proses pendidikan multikultural. Multikultural dalam pendidikan ada karena pendidikan tidak lepas dari konteks masyarakat. Pendidikan yang mengedepankan keberagaman menjadi inti dari pendidikan multikultural, yakni pendidikan yang menekankan pada penanaman moral.
Elemen pendidikan multikultural mencakup tiga sub-nilai 1)menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang, 2) menghormati dan berkeinginan untuk memehami serta belajar tentang etnik kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya, dan 3)menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri, Blum (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009).
Selanjutnya paradigma pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga masyarakat, yang bukan hanya sekedar perubahan kurikulum atau perubahan metode pengajaran, pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus menuju dan bahwa pengalaman menunjukkan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar (Zamroni,2011).
3. Pendekatan Pendidikan Multikultural.
                        Kebijakan pendidikan nasional berbasis multikultural bagi bangsa Indonesia yang pluralis sudah dirasakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pendidikan multikultural sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, akan melahirkan kemampuan untuk memahami perbedaan budaya orang lain serta menghargai setiap perbedaan budaya serta memiliki sikap dan perilaku positif bahwa perbedaan budaya sebagai suatu kekayaan yang harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan, bukan disikapi secara negatif sebagai ancaman terhadap kesinambungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
                        Dalam masyarakat yang plural, pendidikan multikultural menjadi semakin penting. Satu dari empat orang Amerika Serikat saat ini menggambarkan dirinya sebagai seorang Hispanik atau bukan kulit putih, Pada tahun 2000, gambaran ini akan berubah menjadi satu dari tiga orang Amerika Serikat (Lickona,2012;168). Pengembangan apresiasi positif terhadap perbedaan kultural terasa semakin mendesak jika dilihat dari sudut pandang meningkatnya fanatisme golongan dan tindak kekerasan yang bernuansa SARA yang terjadi pada akhir-akhir di negeri ini.
                       Berikut ini disajikan sebuah gambaran, bagaimana Suster Paul Barno yang mengajar di kelas 4 di suatu Sekolah Paroki di bagian utara negara bagian New York yang memiliki seorang murid bernama Eddie keturunan bangsa Meksiko yang tidak diterima dengan baik oleh murid-murid yang lain. Pada musim gugur semua kelas diajak untuk berkontribusi dalam proyek multikultur sekolah yang bertema “ Festival Berbagai Negeri “, sang guru memilih tema Meksiko. Sang guru menjelaskan agar Eddie mau berpartisipasi aktif, sang guru menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif. Eddie menjadi bagian dari beberapa kelompok kecil yang mengerjakan peta, bagan dan barang yang akan dipamerkan seperti orang-orang, tempat-tempat, dan barang-barang yang ada di Meksiko, dengan adanya dorongan Eddie berhasil mengarahkan seluruh temannya di kelas mengenai kehidupan di Meksiko, interaksi edukasi antar murid berkembang dengan baik.
                        Pada hari diadakannya proyek banyak orangtua yang ikut hadir dalam diskusi apa yang kami pelajari, berdansa, makan tacos, dan memecahkan piƱata. keluarga Eddie datang dengan membawa batu permata dan perak dari Meksiko, dan Eddie datang dengan mengenakan kostum tereodor (baju kebangsaan Meksiko) yang dijahit oleh ibunya sendiri (Lickona,2012:269).  
                        Proses pembelajaran pendidikan multikultural diatas menggambarkan bahwa Suster Paul Barno menggunakan pendekatan integratif dalam proses pembelajarannya. Sekolah Parogi di New York tersebut tidak menggunakan pendekatan monolitik atau mengajarkan pendidikan multikultural melalui mata pelajaran khusus yang bernama mata pelajaran pendidikan multikultural atau mata pelajaran sejenisnya, namun diintegrasikan dalam mata pelajaran yang diampu oleh Suster Paul Barno tersebut.
Penulis berpendapat bahwa pendidikan multikultural di Indonesia dapat dikemas dalam suatu bentuk acara pentas seni dalam rangka memperingati hari-hari besar nasional, acara ulang tahun sekolah, penerimaan dan acara pelepasan peserta didik pada awal atau akhir tahun pelajaran, dimanan setiap peserta didik tampil dengan latar belakang “budaya asli” (busana) masing-masing peserta didik. Selanjutnya proses pembelajaran pendidikan multikultural tidak disajikan melalui mata pelajaran pendidikan multikultural (monolitik), tetapi disajikan secara integrative dengan mata pelajaran yang telah ada. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa Pendidikan multikultural sebaiknya tidak diberikan dalam satu mata pelajaran yang terpisah tetapi terintegrasi di dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan HAR.Tilaar (2003:181).
Selanjutnya pendekatan pendidikan formal yang berbasis multikultural menurut penulis dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pertama, pendekatan top-down dilakukan melalui mekanisme penetapan kebijakan pemerintah pusat tentang pendidikan multikultural, sedangkan Satuan Tingkat Pendidikan / Sekolah merupakan implementator kebijakan pendidikan multikultural.  Kedua, dengan pendekatan bottom-up, yaitu dengan cara menemukenali praktik pendidikan multikultural di level satuan pendidikan atau proses habituasi (pembiasaan) seperti praktik penggunaan bahasa daerah, busana khas daerah. 
4. Pendidikan Berbasis Multikultural.
                        Wacana mengenai kebudayaan merupakan bidang yang berkaitan dengan tiga masalah besar, yaitu identitas, kekuasaa, dan kebudayaan dalam arti luas (HAR Tilaar,2003:162). Diberbagai negara yang plural seperti Amerika Serikat, Singapura dan Indonesia masalah multikultural merupakan kenyataan sosial yang harus dihadapi.
Persoalannya adalah bagaimana negara yang multikultural tersebut mendesain sistim pendidikannya. menurut John Dewey menyatakan bahwa masalah keanekaragaman di dalam masyarakat demokrasi  sebagai salah satu masalah pokok pendidikan, ia menunjukkan betapa cita-cita demokrasi hanya dapat hidup dan berkembanmg melalui proses pendidikan. Pendidikan multikultural dewasa ini merupakan topik  diskusi, seminar maupun praktik pendidikan pada beberapa negara maju dengan dengan mengambil tema utama pentingnya kebudayaan dalam praktik pendidikan untuk membangun suatu masyarakat yang demokratis.
                   Apabila multikultural merupakan wacana dalam bidang kebudayaan dalam arti yang luas seperti pengembangan identitas suatu kelompok masyarakat diperlukan rasa identitas dari kelompok bangsa. Selanjutnya negara hanya akan mampu bertahan manakala memiliki kekuasaan, kekuasaan untuk menjamin kelangsungan hidup dan berkembang di dalam suatu kelompok masyarakat serta mengikat masyarakat itu dalam satu kesatuan kehidupan. Menurut HAR.TilaarPendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang disebut dengan studi kultural mengenai pendidikan, yang melihat proses pendidikan tidak terlepas dari proses pembudayaan. Pendidikan tidak bisa lepas dari keseluruhan dinamika buaya suatu masyarakat. Pendidikan multikultural tidak hanya terbatas pada pendidikan di jenjang pendidikan formal di tingkat sekolah dan perguruan tinggi, namun diadakan melalui lintas batas yang melangkahi batas-batas pemisah yang tradisional dari disiplin-disiplin dunia akademis yang kaku.
                   Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah membentuk warga negara yang demokratis, olah karenanya pendidikan multikultural menempati tempat yang sangat sentral dalam pembinaan generasi dan masyarakat Indonesia yang demokratis, yakni tumbuh kembangnya sikap dan perilaku saling menerima perbedaan, menghargai setiap perbedaan latar belakang etnis, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya.
5. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia.
                        Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kebijakan pendidikan berbasis multikultural bagi bangsa Indonesia yang pluralis merupakan suatu keniscayaan. Fakta pluralitas etnik, bahasa, golongan  agama, adat-istiadat atau budaya merupakan akibat logis dari arus gelombang mobilitas dan globalisasi yang terjadi di dunia.
                        Pendidikan multikultural di era otonami daerah dewasa ini sangat dimungkinkan untuk tumbuh dan berkembang. Sebab dalam multikultural menuntut perkembangan budaya lokal secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing budaya. Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan otonomi daerah yang memiliki kewenangan lebih luas untuk melestarikan, menggali serta mengembangkan budaya yang bernilai kearifan lokal. Semua elemen tersebut dapat diapresiasi dengan pendekatan atas-bawah (top-down) yang bersifat sentralistik, namun akan lebih tepat jika dilakukan dengan pendekatan dari bawah (botton-up) yang bersifat desentralistik.
Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang cukup untuk mengelola potensi daerahnya dengan tujuan dapat meningkatkan pelayanan dan peningkatan kualitas kesejahteraan bagi warga masyarakat. Melalui  pengembangan potensi daerah yang desentralistik tersebut diharapkan pemikiran pluralistik etnik, budaya, agama, seni, bahasa dapat menghadirkan respon kreatif yang signifikan dengan tuntutan transformasi masyarakat yang terjadi  Asy’ari (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009:47).
6. Peran Pendidikan Multikultural terhadap Integrasi Bangsa
                        Fenomena seperti tawuran antar pelajar, tindakan penyalahgunaan narkoba, perilaku sek bebas dikalangan pelajar, konflik sosial secara horizontal sebagaimana yang telah  disampaikan di awal tulisan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa krisis moral ini belum dapat diselesaikan secara baik. Konflik-konflik yang terjadi selama ini bisa jadi merupakan potret “kegagalan” dunia pendidikan dalam membentuk pribadi-pribadi yang bermoral, karena pendidikan yang berlangsung lebih mengedepankan aspek olah pikir daripada olah hati dan olah rasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adam, menunjukkan bahwa secara moral pendidkan turut bertanggungjawab atas terjadinya konflik sosial yang terjadi. Selanjutnya Adam (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009:61) menjelaskan bahwa :
Di berbagai daerah untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, terdapat gelombang pengungsi yang bukan akibat bencana alam. Di Pontianak dan sekitarnya terdapat ribuan keluarga Madura yang tinggal di “kamp-kamp pengunggsian” tanpa kejelasan dan nasib dan masa depannya. Di NTT menjadi tempat penampungan lebih dari seratus ribu warga eks Timor Timur…Di Medan terdapat ribuan pengunggsi Aceh. menurut sebuah catatan, kini telah terdapat lebih dari sejuta pengunggsi di seluruh Indonesia. Mereka adalah warga negara yang terlempar dari rumahnya akibat “perang saudara” dan menjadi suatu komunitas orang asing di negeri sendir … belum lagi kasus-kasus Aceh, Poso, Irian Jaya, dan Ambon.
      
       Adanya keterasingan sosial akibat berbagai kerusuhan dan kekerasan yang terjadi dapat diindikasikan bahwa adanya rasa aman, saling toleransi serta kebanggaan sebagai bangsa semakin menipis. Jiwa nasionalisme dan semangat integrasi bangsa yang telah kita capai kini layak dipertanyakan kembali dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya.
Perlu diperhatikan hasil penelitian tentang peranan pendidikan multikultural terhadap integrasi bangsa yang dilakukan oleh Education Resourses Information Center (ERIC), menunjukkan bahwa pendidikan multikultural berperan dalam 1) mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras atau harmonis, 2) mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai, 3) menghargai perbedaan-perbedaan, 4) memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, 5) menghargai keanekaragaman dan menumbuhkan demokrasi.
                        Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dengan pendekatan pembelajaran berbasis multikultural dapat mencegah prasangka-prasangka dan konflik antar kelompok, karena dalam pembelajaran multikultural  peserta didik akan belajar bagaimana memahami perbedaan dan cara menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahannya, yang pada akhirnya peserta didik akan menerimanya bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan atau manfaatnya. Bahkan menurut Malinovski dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2009, menyatakan     bahwa segala aktifitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia.       

D. Penutup
     Kesimpulan.
                        Pendidikan merupakan serangkaian proses untuk memanusiakan manusia, manusia yang menyadari hak-hak dan kewajiban sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Bangsa Indonesia yang plural merupakan karunia yang harus disyukuri bukan hanya kekayaan namun menjadi modal perekat demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan multikultural di tengah masyarakat yang plural sangat dibutuhkan, karena bukan hanya berperan untuk menghargai perbedaan budaya lain, mengurangi prasangka dan konflik antar kelompok, namun juga pendidikan multikultural memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga integritas bangsa.
Pemerintah berwenang dan sangat berkepentingan dalam menetapkan kebijakan sistim pendidikan nasional berbasis multikultural, bukan karena hanya untuk menjaga agar tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun juga dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan warga negaranya yang hidup dengan damai, sejahtera dan penuh keadilan.

Daftar pustaka:

Aziz, Amir.2008.The Power of Al-Fatihah. Do’a Qolilah.Ciganjur.
Chaniago, M Sam.2008.Kebijakan Pendidikan Era Otanomi Daerah.Rajawali Press. Jakarta.
Endang SK. 2006. Pendidikan multikultural sebagai alternatif penanaman nilai moral dalam keberagaman.Paradigma.02 tahun I-55.
Lickona, Thomas.2012.Educating for Character-Mendidik Untuk Membentuk  Karakter.Bumi Aksara. Jakarta.
Tilaar,HAR.2003.Keluasan dalam pendidikan-Suatu tinjauan dan perspektif studi kultural.Indonesastra.Magelang.

KELANGKAAN SEBAGAI MASALAH EKONOMI